Oleh Syaifullah Mahdi
(Ketua DPD PKD Jatim/Kandidat Doktoral UHT Surabaya)
KEBIJAKAN Presiden Prabowo Subianto mendirikan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih di seluruh desa di Tanah Air disambut antusias masyarakat. Tak terkecuali para kepala desa (kades) anggota Persaudaraan Kepala Desa Indonesia Jawa Timur (PKD Jatim). Program ini dinilai mampu menggerakkan ekonomi desa yang berimplikasi mempercepat kemandirian, kemakmuran desa dan kesejahteraan warganya.
Sejumlah kalangan sempat menanyakan keberadaan koperasi desa ini lantaran lembaga ekonomi desa sebelumnya sudah ada, misalnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai replikasi atas adanya BUMN-BUMD yang berskala nasional dan regional ditarik ke tingkat desa. Karena itu, pembentukan Kopdes Merah Putih harus dilakukan secara matang melibatkan kepala dan perangkat desa, tokoh, dan masyarakat desa, selaku subjek dari pembangunan di wilayah tersebut.
Selain BUMDes, di desa juga sudah banyak dibentuk Koperasi Wanita (Kopwan) yang sama-sama program pemerintah. Sama dengan BUMDes, Kopwan juga sudah ada yang berhasil, seperti Kopwan Karya Pertiwi di Desa Kepoh Agung, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, yang berdiri pada tahun 2010 dengan izin usaha Nomor 041 / BH / XVI.28 / 414.055 / 2010. Ada pula Kopwan Sekar Arum Desa Pangkah Wetan Kec. Ujung Pangkah Kab. Gresik yang sisa hasil usahanya alias SHU mencapai angka Rp 300 juta dengan putaran omzet di angka Rp 4 Miliar. Selain itu ada pula Kopwan Barokah di Desa Magersari, juga di Kabupaten Tuban.
Namun, untuk memenuhi target Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sudah mencanangkan Sustainable Development Goals ( SDGs) sebagai agenda global kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs) secara riil memang harus dilakukan percepatan. SDGs memiliki 18 pencapaian tujuan, antara lain hidup tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, kesehatan dan kesejahteraan yang baik, pendidikan yang berkualitas, dan kesetaraan gender.
Salah satu strategi pemerintah Indonesia untuk mendukung SDGs adalah dengan memberdayakan koperasi dan lembaga keuangan mikro di daerah pedesaan. Maka, guna mempercepat pencapaian SDGs itu perlu disokong lembaga baru lagi bernama Kopdes Merah Putih ini.
Seperti disebutkan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto, Kopdes Merah Putih tidak akan menghilangkan peran BUMDes melainkan justru bakal memperkuat BUMDes yang pendapatannya satu tahun sudah ada yang mencapai Rp 24 miliar atau Rp 17 miliar.
Yandri dalam acara Peluncuran dan Sosialisasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Graha Mandiri, Jakarta, Senin, 14 April 2025, yakin Kopdes bisa mempercepat tujuan mulia tersebut. Apalagi cakupan usaha Kopdes lebih besar dan luas ketimbang BUMdes dan Kopwan.
Modal awal Kopdes Merah Putih, misalnya, secara keseluruhan direncanakan mencapai Rp 400 triliun. Setiap unit koperasi yang didirikan akan mendapatkan alokasi dana sebesar Rp 5 miliar. Sedang modal awal untuk pendirian BUMDes sangat bervariasi di setiap daerah. Namun, batas minimal yang ditetapkan sebesar Rp 20 juta.
BUMDes dikelola oleh desa, sedangkan Kopdes melibatkan pemeringah pusat. Sesuai dasar hukumnya, pembentukan Kopdes Merah Putih diatur oleh Inpres Nomor 9 Tahun 2025 yang diteken Presiden Prabowo di Jakarta pada Kamis, 27 Maret 2025. Selain itu, koperasi baru tersebut sesuai dengan amanat Surat Edaran (SE) Menteri Koperasi (Menkop) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih.
Sementara penyelenggaraan BUMDes sebagaimana tertuang dalam Pasal 117 Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, BUMDes didirikan oleh desa atau bersama desa-desa untuk mengelola usaha, memanfaatkan aset, menyediakan jasa pelayanan, hingga mengembangkan investasi demi kesejahteraan warga desa. Bidang usaha kopdes dan BUMDes juga berbeda, sehingga tidak akan bertabrakan melainkan saling dukung saling menguatkan.
Namun, belajar dari banyak kejadian sebelumnya di lembaga koperasi, perlu penguatan karakter pengurusnya. Selain menguasai manajerial, pengurus kopdes pelu mendapat beragam ilmu lain melalui pelatihan. Bahkan, termasuk pendidikan moral dan akhlak mengingat sejumlah lembaga ekonomi di desa banyak yang ambruk lantaran ulah pengurusnya yang tidak amanah. Salah satunya terkait manajemen keuangan yang tidak baik sehingga membuka peluang korupsi yang dilakukan oleh pengurus dan orang-orang di sekitarnya.
Dalam kaitan ini perlu juga pengawasan yang ketat. Bahkan, perlu dilakukan secara integral berbasis teknologi sehingga bisa meminimalisasi kecurangan pada manajemen keuangan. Ambruknya lembaga ekonomi desa bukan karena tidak ada dukungan dari warga, bukan karena modal kecil, tapi seringkali karena mis-manajemen dan perilaku buruk pengurusnya sendiri.
Hal-hal semacam ini juga memicu konflik internal antar-pengurus yang berujung mandeknya operasional lembaga ekonomi desa tersebut. Seperti tujuannya yang mulia pembentukan Kopdes Merah Putih untuk memberdayakan masyarakat desa melalui prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan dan gotong royong, hingga secara bertahap bisa mewujudkan kemandirian ekonomi di tingkat desa. Fokusnya adalah penguatan kapasitas ekonomi individu dan kelompok masyarakat. Bukan sebaliknya menceraiberaikan potensi desa tersebut.
Perlu penegasan soal gotong royong ini. Hal itu mengingat banyak koperasi sebelumnya seolah dikuasai segelintir pengurusnya saja. Prinsis gotong royong diubah menjadi gotong boyong. Dari digotong bersama-sama semua komponen masyarakat, saling membantu, demi satu tujuan sejahtera semua warga, diubah menjadi gotong boyong alias diangkut segelintir orang saja untuk dikuasai. Kondisi ini yang membuat banyak kabar pengurus koperasi melakukan korupsi–meski tentu saja banyak pula koperasi yang maju dan mendukung pencapaian kesejahteraan warganya.
Yang jelas korupsi yang terjadi di koperasi disebabkan berbagai faktor, seperti kurangnya transparansi pengelolaan keuangan, lemahnya pengawasan internal, dan adanya motif pribadi pengurus. Semua masalah ini perlu menjadi perhaian bila ingin membentuk secara serempak kopdes di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo memiliki target mendirikan sebanyak 80.000 unit Kopdes Merah Putih di seluruh Indonesia. Ini tantangan berat mengingat kondisi ekonomi sekarang masih dilanda ketidakpastian secara global, namun kita tetap harus optimistis bahwa pembentukan kopdes di seluruh Indonesia itu bisa dicapai dengan baik mengingat masyarakat desa butuh triger untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Perlu dicatat, hingga sekarang jumlah BUMDes yang telah terbentuk dan terdata secara nasional hanya mencapai 64.283 unit. Padahal, BUMDes pertama kali berdiri di negeri ini sudah sejak tahun 2010 yakni BUMDes Panggungharjo di Kabupaten Bantul dengan fokus pada pengelolaan sampah untuk mengatasi masalah polusi akibat sampah. BUMDes ini juga memiliki unit usaha lain yang dikembangkan berdasarkan potensi desa dan kebutuhan masyarakat setempat. Lalu BUMDes Limau Manis di Kabupaten Limau Manis juga merupakan contoh BUMDes yang didirikan pada tahun 2010 dengan dana awal sebesar Rp 500 juta. BUMDes ini dibentuk untuk memperkuat perekonomian desa dan memenuhi kebutuhan masyarakat setempat.
Artinya, mengambil contoh BUMDes dan Kopwan yang berhasil, kita optimistis Kopdes Merah putih juga akan berkembang pesat. Apalgi ini menjadi program nasional untuk mendorong kemandirian desa menuju kemandirian dan kedaulatan bangsa melalui swasembada pangan berkelanjutan dan pembangunan dari desa untuk pemerataan ekonomi menuju Indonesia Emas 2045.
Presiden Prabowo ingin membangun Indonesia maju lewat koperasi lantaran menjadi soko guru perekonomian yang berlandaskan nilai Pancasila serta asas kekeluargaan yang tertuang dalam pasal 33, 34, dan 37 UUD tahun 1945. Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Pasal ini menegaskan pentingnya koperasi sebagai bentuk usaha yang sesuai dengan nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong. Selain itu, Pasal 34 dan 37 UUD 1945 juga menekankan pentingnya peran negara dalam menjamin kesejahteraan sosial dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang salah satunya dapat diwujudkan melalui pengembangan koperasi di desa seluruh Indonesia.
Selama ini pelaksanaan Pasal 33 dalam UUD ’45 hanya sebatas jargon. Tidak dilakukan dengan total menyeluruh. Yang dilakukan terlihat indah di atas kertas saja tapi bermasalah di tingkat pelaksanaan di lapangan. Buktinya bisa dilihat di pasar-pasar atau toko- warung kecil di desa-desa. Banyak pedagang kecil terjerat rentenir. Mereka bergerilya hingga pelosok desa memangsa warga.
Kita ingat peraih Nobel Ekonomi atas karya Grameen Bank bernama Muhammad Yunus, seorang ekonom dan bankir dari Bangladesh. Ia dianugerahi Nobel Perdamaian pada tahun 2006 bersama Grameen Bank karena upaya mereka dalam memelopori konsep kredit mikro dan keuangan mikro untuk membantu orang miskin. Muhammad Yunus dikenal sebagai “bankir kaum miskin” karena mendirikan Grameen Bank, yang memberikan pinjaman kecil kepada masyarakat miskin tanpa jaminan, khususnya perempuan. Ini bisa pula dilakukan di Indonesia dengan model yang lain yang penting tujuannya mengena, bahwa warga harus bebas dari rentenir karena mampu secara ekonomi. Maka, kini saatnya Presiden Prabowo mewujudkannya dalam program Kopdes Merah Putih. (*)