JAKARTA| Pro-Desa.com – Dualisme kepemimpinan dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dinilai dapat mempengaruhi iklim investasi di negara ini. Investor asing bakal memilih menjauh terlebih dahulu hingga urusan ini selesai.
Sejumlah ekonom menyayangkan situasi ini dan berharap segera teratasi. Perebutan kekuasaan antara Kadin terpilih yakni Arsjad Rasjid dan Kadin versi Munaslub Anindya Bakrie akan merugikan semua pihak. Terutama presiden mendatang Prabowo Subianto yang membutuhkan dukungan investor untuk membawa pertumbuhan ekonomi.
Hal ini disampaikan Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Himawan. Menurut dia, polemik kepemimpinan di internal Kadin akan berdampak langsung terhadap aktivitas investasi asing. Bagaimanapun mereka membutuhkan kepastian agar tidak salah melakukan deal bisnis.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah. Menurut dia dualisme ini tidak boleh berlangsung lama. Yang penting pemerintah cepat bertindak dan jangan berpihak. “Apapun keputusan pemerintah, Kadin pasti akan kembali solid. Sebab, pada umumnya pengusaha lebih memilih sikap pragmatis,” ucap Piter, saat dihubungi Kamis (19/09)
Dijelaskan Piter, selama ini Kadin kerap dijadikan kendaraan politik oleh para pengusaha yang tergabung di dalamnya. Mereka, juga tergabung dalam asosiasi lain di luar Kadin. Polemik kepengurusan Kadin yang terjadi baru-baru ini tidak lepas dari kepentingan politik yang melibatkan organisasi pengusaha.
Kalangan investor selalu menilai posisi Kadin sebagai jendela sekaligus jembatan antara dunia usaha dan pebisnis dengan pemerintah. Maka itu, kemampuan pemerintah dalam mengatasi kekisruhan ini juga dipertaruhkan. Jika terendus sikap yang terlalu memihak ke salah satu kubu, maka akan menjadi catatan buruk sebagai bentuk intervensi negara terhadap pelaku bisnis.
Yang paling realistis adalah meminta semua pihak untuk menahan diri atau sama sama mundur selangkah. Artinya, di satu sisi Anin tidak memaksakan kepengurusan Kadin versi Munaslub sementara Arsjad tidak asal memecat pengurus yang beda pilihan dan hentikan proses hukum. “Nah, kedua pihak kemudian duduk bersama untuk merancang percepatan Munas atau bahasa lainnya mengulang Munaslub dengan melibatkan semua pihak. Mereka silakan bertarung untuk membuktikan apakah benar pengurus daerah menginginkan pergantian karena Arsjad dianggap melanggar AD/ART, atau jangan jangan itu klaim sepihak,” katanya.
Seperti diketahui, Kadin versi Munaslub mengklaim mendapatkan dukungan mayoritas pengurus Kadin Daerah dan anggota luar biasa. Sementara kubu Arsjad juga menyebutkan dukungan yang sama bahkan menghadirkan seluruh Kadin daerah dalam sejumlah konferensi pers. Untuk menguji klaim versi Munaslub, Kadin melakukan investigasi terhadap para pengurus daerah yang disebut telah memberikan dukungan kepada Anin.
Sementara proses ini berlangsung, Menara Kadin diduduki oleh puluhan orang yang dipimpin Umar Kei. Kehadiran mereka bukan hanya mengganggu juga mengintimidasi. Aksi sepihak ini memancing reaksi dan terjadilah insiden. Staf Khusus Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, Arif Rahman melaporkan kasus dugaan pengeroyokan terhadap dirinya di Menara Kadin ke Polda Metro Jaya pada Rabu (18/9).
Sementara itu Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) menjelaskan, Kadin berperan sebagai jembatan yang mempertemukan calon investor dengan mitra lokal serta membantu investor dalam perizinan usaha dan insentif melalui interaksi dengan pemerintah.
Namun, dengan adanya dualisme ini, investor dan pengusaha mungkin kebingungan dalam menentukan pihak mana yang harus dijadikan mitra. Hal ini berpotensi memperlambat masuknya investasi, terutama investasi asing, karena ketidakjelasan dalam mencari mitra lokal.
Selain itu, Bhima menyoroti bahwa dualisme tersebut terjadi pada masa transisi pemerintahan dari Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo Subianto, yang berpotensi menurunkan reputasi Kadin di mata investor.
Kadin yang seharusnya menyuarakan aspirasi pengusaha justru terlihat lebih terlibat dalam kepentingan politik, mencerminkan iklim usaha di Indonesia yang kurang baik dan membuat investor enggan menanamkan modal. (Bud)