Petani Pamekasan Sudah Biasa Menghadapi Perubahan Iklim yang Aneh

Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pamekasan, Nolo Garjito,
Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pamekasan, Nolo Garjito,

 

PAMEKASAN| Pro-Desa.com – Fenomena cuaca aneh tak menentu yang terjadi beberapa waktu terakhir ini dinilai tak berpengaruh negatif bagi petani di Kabupaten Pamekasan. Karena saat ini di Pamekasan tengah berlangsung musim panen. Hanya sebagian saja ada petani yang melakukan penanaman padi kembali.

Bacaan Lainnya

Pada saat panen, apabila terjadi hujan maupun panas, tidak membahayakan bagi petani. Jika dalam keadaan hujan saat panen, maka petani sudah bisa mensiasati atau mengatasinya sendiri. Namun jika kondisi panas maka hal itu justru yang sangat diharapkan, karena petani bisa melakukan pengeringan gabah secara tradisional melalui panas matahari, bukan mekanik.

Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Pamekasan, Nolo Garjito, mengatakan, musim panen padi di Pamekasann terjadi mulai akhir bulan Maret lalu dan puncaknya di tengah April 2024. Berdasarkan data yang ada, panen dimulai pada bulan Maret karena sebagian petani sudah menanam mulai awal Desember 2023 sampai di bulan Februari 2024.

Di Pamekasan, kata dia, rata- rata lahan tadah hujan, sebagian wilayah lahan irigasi. Lahan tadah hujan ini tanamnya pada awal Desember. Cuma pada wilayah kering atau lahan tadah hujan ini, waktunya agak panjang tergantung ketersediaan air hujan. Kalau air hujan mencukupi tanamnya agak maju, kalau air tidak mencukup tanamnya agak lama, karena tergantung musim hujan.

Dia menegaskan musim panen padi dimulai akhir Maret puncaknya di tengah April. Cuaca selang seling seperti ada hujan dan panas tidak berpengaruh. Kalau musim hujan terus, seperti hujan sampai dua hari, memang berpengaruh terhadap kualitas gabah, tapi kalau panas itu yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, karena untuk pengeringan padi.

“Tidak merugikan (cuaca ekstrem). Ada dua kemungkinan. Kalau bagi pekerja di sawah memang membutuhkan cuaca yang agak dingin, tapi bagi yang sudah panen yang sudah di rumah itu butuh panas optimal untuk mengeringkan padinya. Kalau pada saat panen tidak ada panas dua atau tiga hari, hal tersebut akan berakibat jelek kepada kualitas gabah, jadi kalau panas tidak berpengaruh,” katanya.

Dia mencontohkan yang terjadi pada minggu kemarin tidak ada panas, maka petani resah dengan kondisi seperti itu, karena pengeringan masih menggunakan manual sinar matahari penuh. Kondisi itu sempat meresahkan bagi masyarakat, karena gabahnya menumpuk di rumah penduduk tidak ada alat untuk mengeringkan secara mekanik.

“Kalau sering hujan juga memang berpengaruh, tapi kenyataan masyarakat bisa mengatasi sendiri. Biasanya di masyarakat itu ada langgar-langgar itu, jadi halaman rumah agak besar dibuat panggung-panggung seperti itu, jadi sudah antisipasti dengan kondisi seperti itu oleh masyarakat,” ungkapnya.

Terkait dengan produksi padi, kata Nolo, wilayah lahan kering atau tadah hujan memang naik turun. Produksinya rata-rata di bawah 10 ton per hektare untuk daerah tadah hujan. Karena itu dipengaruhi oleh banyaknya curah hujan. Jika kurang air maka pemupukan pun juga tidak efektif.

Bagi lahan di wilayah irigasi masyarakat sudah bisa antisipasi. Di Pamekasan panennya rata-rata dua kali setahun dan tanamnya juga dua kali setahun. Biasanya daerah irigasi sudah banyak menggunakan bibit unggul, seperti hibrida. Jadi produksinya itu mendekati di angka 15 ton per hektare, atau antara 10 hingga 15 ton per hektare.

Luas lahan di Pamekasan mencapai 27 ribu hektare. Petani ada tanam satu kali ada yang dua kali. Riilnya di Pamekasan yang irigasi ada di angka 6.000 hektare, selebihnya adalah lahan tadah hujan. Kalau panen sukses itu disebabkan oleh pengaruh iklim atau curah hujan yang bagus.

Pemerintah pusat, kata Nolo, pernah merilis hasil pantauan satelit, bahwa pada Desember lalu di Pamekasan ada lahan masih ada 21 ribu yang belum tertanami. Hal itu sempat ditanyakan dalam pertemuan tingkat nasional, kenapa masih ada lahan kosong seluas 21 ribu hektare.

“Saya sampaikan lahan memang di angka itu cuman nunggu hujan, setelah di tengah Maret sampai April lahan kita yang belum ditanami itu diperkirakan hanya ada di angka tiga ribu hektare. Itu pun bukan lahan yang tidak ditanami, namun lahan untuk pakan ternak atau kebun rumput,” jelasnya.

Nolo menegaskan di Pamekasan tiap tahun, kondisi iklim tidak jauh berbeda, cuma pada akhir dan awal tanam saja yang berbeda. Hanya saja yang sangat berpengaruh terhadap produksi adalah curah hujan pada awal musim tanam, karena pada saat itu musim petani turun ke lahan untuk menamam padi.

Wakil Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Pamekasan, Samukrah, juga menegaskan bahwa cuaca unik belakangan ini tidak mempengaruhi terhadap petani. Sebab mayoritas tanaman padi di Pamekasan sudah mulai dipanen.

Hanya sebagian kecil saja yang melakukan penanaman kembali.

“Sekitar 95 persen padi di Pamekasan kini sudah dipanen. Sehingga kondisi cuaca tidak berpengaruh. Apalagi misalnya ada panas yang panjang berhari hari hari itu malah sangat baik untuk pengeringan, “ tuturnya.

Dia mengaku sebagian ada pertani d Pamekasan yang mencoba menanam kembali lahannya, namun jumlahnya sedikit dan bisa mengatasi sendiri jika ada persoalan terutama jika yang berkaitan dengan kebutuhan air.

“Petani yang tanam padi kembali itu biasanya lahan irigasi dan itu bisa mengatur. Kalau ada hujan itu makin baik, tidak ada hujan jika lahan butuh air maka dilakukan dengan pengairan irigasi. Jadi intinya tidak ada masalah bagi petani kondisi cuaca saat ini,” tandasnya. (mas)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *